MIKROBIOLOGI PANGAN (KASUS KERACUNAN MAKANAN AKIBAT DARI INFEKSI MIKROBA)
Tugas
MIKROBIOLOGI PANGAN
(KASUS KERACUNAN MAKANAN AKIBAT
DARI INFEKSI MIKROBA)

OLEH
:
NAMA : JENDRI
MAMANGKEY
STAMBUK :
F1 D1 10 004
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2013
TIGA BAKTERI PENYEBAB KERACUNAN MAKANAN WARGA DESA NGRINGO, KECAMATAN JATEN
Sumber: solopos.com > soloraya > karanganyar >
keracunan ngringo: tiga bakteri penyebab keracunan makanan (jumat 22 maret 2013)
1.
Korban
Keracunan
Keracunan massal yang dialami
ratusan warga Desa Ngringo, Kecamatan Jaten.
2.
Penyebab
keracunan
Keracunan massal yang dialami
ratusan warga Desa Ngringo, Kecamatan Jaten disebabkan tiga bakteri yakni Staphylococcus
aureus, Clostridium botulinum dan escherichia coli. Ketiga bakteri itu terdapat
di tiga jenis makanan yang dihidangkan yakni bistik daging, sop galantin dan
resoles. Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) DKK
Karanganyar, Fatkul Munir, mengatakan berdasarkan hasil uji laboratorium
ditemukan tiga bakteri yang terdapat di tiga jenis makanan yang dimakan para
tamu undangan.
3.
Gejala
keracunan
Setelah memakan hidangan itu, para
tamu undangan yang mayoritas berasal dari Desa Ngringo mengelami gejala
keracunan makanan seperti pusing, mual dan muntah-muntah.
4.
Proses
infeksi mikroba
Bakteri dapat menyebabkan keracunan
pangan melalui 2 mekanisme , yaitu intoksikasi dan infeksi. Intoksikasi
adalah keracunan pangan yang disebabkan oleh produk toksik bakteri patogen baik
itu toksin maupun metabolit toksik. Infeksi merupakan penyebab
penyakit seseorang adalah akibat masuknya bakteri patogen ke dalam tubuh
melalui konsumsi pangan yang telah tercemar bakteri. Jenis bakteri yang menyebabkan keracunan massal yang terjadi di desa
Ngringo, Solo antara lain:
Ø Jenis Bakteri
Bakteri
E. coli merupakan spesies dengan habitat alami dalam saluran pencernaan
manusia maupun hewan. E. coli pertama kali diisolasi oleh Theodor
Escherich dari tinja seorang anak kecil pada tahun 1885. Bakteri ini berbentuk
batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 μm, termasuk gram negatif, dapat hidup
soliter maupun berkelompok, umumnya motil, tidak membentuk spora, serta
fakultatif anaerob (Gambar 1) (Carter & Wise 2004).

Gambar
1. Morfologi E. coli
(Sumber: Kunkel 2009)
E. coli menjadi
patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada
di luar usus. E. coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
beberapa kasus diare. E. coli berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan
enterotoksin pada sel epitel (jawetz et al., 1995).
Meskipun E. coli termasuk flora
normal, namun terdapat banyak galur patogen yang bisa menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan. Ada lima grup E. coli patogen yang telah
diidentifikasi. Masing-masing grup memiliki virulensi dan mekanisme patogenik
yang berbeda serta inang yang spesifik (Duffy 2006). Galur E. coli yang
menyerang manusia diklasifikasikan ke dalam lima grup yaitu enteropathogenic
E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohemorrhagic
E. coli (EHEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan enteroaggregative
E. coli (EAEC) (Duffy 2006; Meng dan Schroeder 2007; Bhunia 2008; Laury et
al. 2009; Manning 2010). Pembagian grup utama dari E. coli berdasarkan
mekanisme infeksi dapat dilihat pada Tabel.
Tabel.
Perbedaan mekanisme infeksi grup E. coli (Beauchamp dan Sofos
2010)
Pathotypes
|
Tempat perlekatan
|
Potensi invasi
|
Enteropathogenic E. coli (EPEC)
|
Usus halus
|
Sedang
|
Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
|
Usus halus
|
Tidak ada
|
Enteroinvasive E. coli (EIEC)
|
Usus besar (kolon)
|
Tinggi
|
Enteroaggregative E. coli (EAEC)
|
Usus halus dan usus besar
|
Tidak ada
|
Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC)
|
Usus besar (kolon)
|
Sedang
|
ü E.
coli Enteropatogenik (EPEC)
EPEC penyebab penting
diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. EPEC sebelumnya dikaitkan
dengan wabah diare pada anak-anak di negara maju. EPEC melekat pada sel mukosa
usus kecil.
ü E.
coli Enterotoksigenik (ETEC)
ETEC penyebab yang
sering dari “diare wisatawan” dan penyebab diare pada bayi di negara
berkembang. Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk manusia menimbulkan
pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil.
ü E.
coli Enteroinvasif (EIEC)
EIEC menimbulkan
penyakit yang sangat mirip dengan shigelosis. Penyakit yang paling sering pada
anak-anak di negara berkembang dan para wisatawan yang menuju negara tersebut.
Galur EIEC bersifat non-laktosa atau melakukan fermentasi laktosa dengan lambat
serta bersifat tidak dapat bergerak. EIEC menimbulkan penyakit melalui
invasinya ke sel epitel mukosa usus.
ü E.
coli Enterohemoragik (EHEK)
EHEK menghasilkan verotoksin, dinamai
sesuai efek sitotoksisnya pada sel Vero, suatu ginjal dari monyet hijau Afrika.
ü E.
coli Enteroagregatif (EAEC)
EAEC menyebabkan diare akut dan kronik
pada masyarakat di negara Berkembang (Jawetz et al., 1996).
EPEC merupakan grup E. coli yang pertama kali dikenal sebagai
agen penyebab penyakit diare pada manusia. Diare merupakan gejala gangguan
pencernaan yang ditandai dengan pengeluaran feses dalam jumlah melebihi normal,
konsistensi cair, dan frekuensi pengeluaran yang melebihi normal. Feses
dikeluarkan oleh penderita tanpa kesulitan karena terjadi peningkatan
peristaltik usus (Ganong 2002).
Ø Cara Penanganan
Gejala keracunan bergantung pada tipe
pencemar dan jumlah yang tertelan. Gejala keracunan pangan yang tercemar
bakteri patogen biasanya dimulai 2-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar. Namun, waktunya bisa lebih panjang (setelah beberapa hari) atau lebih
pendek, tergantung pada cemaran pada pangan. Gejala yang mungkin timbul antara
lain mual dan muntah; kram perut; diare (dapat disertai darah); demam dan
menggigil; rasa lemah dan lelah; serta sakit kepala.
Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya
korban akan pulih setelah beberapa hari. Namun demikian ada beberapa kasus
keracunan pangan yang cukup berbahaya. Korban keracunan yang mengalami muntah
dan diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di rumah
saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi
dengan cara segera memberikan air minum pada korban untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang karena muntah dan diare. Pada korban yang masih mengalami
mual dan muntah sebaiknya tidak diberikan makanan padat. Alkohol, minuman
berkafein, dan minuman yang mengandung gula juga sebaiknya dihindarkan.
Untuk penanganan lebih lanjut, sebaiknya
segera bawa korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Korban keracunan yang mengalami diare dan
tidak dapat minum (misalnya karena mual dan muntah) akan memerlukan cairan yang
yang diberikan melalui intravena. Pada penanganan keracunan pangan jarang
diperlukan antibiotika. Pada beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat
memperburuk keadaan. Jika korban keracunan pangan adalah bayi, anak kecil,
orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang yang mengalami gangguan sistem
pertahanan tubuh (imun) maka perlu segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit
terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
b. Staphylococcus aureus
S.
aureus adalah bakteri Gram positif, mempunyai bentuk sel
bulat bergerombol seperti buah anggur, kadang terlihat sel tunggal atau
berpasangan, tidak motil, anaerobik fakultatif, menghasilkan koagulase dan
menghasilkan warna biru (violet) pada pewarnaan Gram. Beberapa biakan yang
sudah tua akan kehilangan Gram positifnya, sehingga dalam pewarnaan akan
menghasilkan warna merah (Pelczar dan Chan, 2006; Foster, 2004).

Staphylococcus aureus, dari semua
jenis makanan yang berasal dari hewan atau tumbuhan, baik dalam bentuk ataupun
hasil olahannya. Juga banyak ditemukan pada berbagai jenis sayuran. Daging dan
sayuran yang digunakan dalam makan tersebut mengandung bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri ini
merupakan bakteri yang dapat menyebabkan keracunan pangan melalui intoksikasi.
Bakteri ini tumbuh pada pangan yang disebabkan oleh produk toksik dan jika
makanan dikonsumsi akan menyebabkan gejala, bukan bakterinya. Keracunan makanan
akibat bakteri ini disebabkan karena bahan pangan untuk pembuatan bistik
daging, sop galatin dan resoles dalam proses pemasakannya belum sempurna
khususnya bahan pangan daging. Karena daging apabila tidak ditangani dengan
baik mudah terkontaminasi oleh bakteri
S. aureus mempunyai
6 faktor virulensi yang berperan dalam mekanisme infeksi yaitu : (1)
Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel,
seperti protein adesin hemaglutinin dan glikoprotein fibronektin. Protein
permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2)
Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya
leukosidin, kinase dan hyaluronidase; (3) Kapsul dan protein A yang dapat
menghambat fagositosis oleh leukosit polimormonuklear; (4) Subtansi biokimia
seperti; karotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup
dalam fagosit, (5) Protein-A, koagulasi dan clumping factor untuk
menghindari diri dari respon sel imun inang. S. aureus dengan
koagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai
faktor koagulase; (6) Toksin yang dapat melisiskan membran sel dan jaringan
inang. S. aureus, selain menghasilkan enzim koagulase, juga
memproduksi banyak substansi yang mendukung atau kemungkinan mendukung
virulensi dan memiliki beberapa substansi penting yang baru diketahui yaitu
berupa hemolisin dan toxin (Todar, 2005).
Keracunan
makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu
dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya
tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat
menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh
rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et
al., 1994 ; Jawetz et al., 1995). S. aureus dapat menimbulkan
penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui
pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan
sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan
toksin, contohnya :
ü Katalase
Katalase
adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis.
Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda egnus Staphylococcus dari Streptococcus
(Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).
ü Koagulase
Enzim
ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor
koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase
yang dihaslki an dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk
deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis
(Warsa, 1994).
ü Hemolisin
Hemolisin
merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni
bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta
hemolisis, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan
manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus
yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba
dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba (Warsa, 1994).
ü Leukosidin
Toksin
ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam
patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus patogen tidak dapat
mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz et al.,
1995).
ü Toksin
eksfoliatif
Toksin
ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial pada
ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
ü Toksin
Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian
besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik
menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toks in ini menyebabkan demam,
syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et al., 1994;
Jawetz et al., 1995).
ü Enterotoksin
Enterotoksin
adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus.
Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada
makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995).
Ø Cara
Penanganan
Penanganan keracunannya
adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang hilang akibat muntah atau
diare. Pengobatan antidiare biasanya tidak diperlukan. Untuk menghindari
dehidrasi pada korban, berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak
dijual sebagai minuman elektrolit dalam kemasan. Untuk penanganan leboih
lanjut, hubungi puskesmas atau rumah sakit terdekat.
c.
Clostridium botulinum

Clostridium
botulinum, ada di semua bahan makanan dari daging dan ikan, terutama yang sudah
diawetkan melalui pengalengan dan kemasan tertutup rapat. Clostridium botulinum menghasilkan racun. Toksin
yang dihasilkan dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang
dapat menyebabkan paralisis yakni mencegah transmisi impuls saraf ke
otot.
Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 8000C
selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten
terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan
pembekuan. Mual, muntah dan kram perut adalah gejala umum yang ditimbulkannya. Efek
dimulai pada syaraf di kepala sehingga menyebabkan penglihatan kabur/ganda dan
kesulitan menelan, kemudian menyebar ke punggung sehingga menyebabkan
kelumpuhan otot lengan, otot pernapasan, dan mungkin juga otot kaki. Gejala ini
biasanya muncul 4-36 jam setelah menelan toksin, tetapi bisa memakan waktu
hingga delapan hari. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan
pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industri rumah tangga), misalnya
pengalengan, fermentasi, pengawetan denganm garam, pengasapan, pengawetan
dengan asam atau minyak. Tindakan pengendalaian khusus bagi rumah tangga atau
pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng dengan seksama
(rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin terutama
untuk pangan yang dikemas hampa udara dan pangan segar atau yang diasap.
Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannnya telah menggembung.
Ø Cara
Penanganan
Tidak ada penanganan
spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuh yang hilang.
Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru
(khususnya di rumah atau industri rumah tangga), misalnya pengalengan,
fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau
minyak.
Bakteri ini dapat mencemari produk pangan
dalam kaleng yang berkadar asam rendah, ikan asap, kentang matang yang kurang
baik penyimpanannya, pie beku, telur ikan fermentasi, seafood, dan madu.
Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan
sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi.
Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan
memasak pangan kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan
pangan dalam lemari pendingin terutama untuk pangan yang dikemas hampa udara
dan pangan segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang
kemasannnya telah menggembung.
4. Cara Pencegahan Keracunan Makanan
Berdasarkan keterangan pemilik katering,
proses pengolahan makanan dilakukan tak jauh dari kandang kambing. Artinya,
makanan yang diolah itu tak higienis dan tak layak dikonsumsi. Sehingga
mengakibatkan para tamu undangan yang memakannya menderita gejala keracunan
makanan. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan sebelum makanan tercemar
oleh bakteri patogen, hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
keracunan pangan akibat bakteri patogen adalah:
ü
Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani
atau mengolah pangan.
ü
Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta
perlengkapan makan sebelum dan setelah digunakan.
ü
Menjaga area dapur/tempat mengolah pangan dari
serangga dan hewan lainnya.
ü
Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang
sama dengan bahan pangan mentah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
ü
Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
ü
Memasak pangan sampai matang sempurna agar
sebagian besar bakteri dapat terbunuh. Proses pemanasan harus dilakukan sampai
suhu di bagian pusat pangan mencapai suhu aman (> 700C) selama minimal 20
menit.
ü
Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak
dalam lemari pendingin (sebaiknya suhu penyimpanan di bawah 50C).
ü
Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang
lebih dari 2 jam, karena mikroba dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu
ruang.
ü
Mempertahankan suhu pangan matang lebih dari
600C sebelum disajikan. Dengan menjaga suhu di bawah 50C atau di atas 600C,
pertumbuhan mikroba akan lebih lambat atau terhenti.
ü
Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam
lemari pendingin.
ü
Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran
sebelum digunakan, terutama yang dikonsumsi mentah (Sentra Informasi Keracunan
Nasional, Badan POM RI)
MELUASNYA KERACUNAN BIOTA LAUT DI SULAWESI TENGGARA SEBAGAI PENYEBAB KERACUNAN WARGA KABUPATEN MUNA, KABUPATEN BUTON KOTA BAU-BAU DAN SEBAGIAN PESISIR BUTON
UTARA
Sumber: Nusantara
Republika Halaman 6 (Selasa 3 Agustus 2010)

Fenomena red
tide yang dapat mematikan biota laut dalam jumlah massal dan juga keracunan
bagi manusia yang mengkonsumsi biota yang terkontaminasi
1)
Korban
Keracunan
Fenomena banyaknya keracunan setelah mengkonsumsi
biota laut khususnya ikan dan kerang yang dialami oleh warga Kota Baubau pada
Bulan Juni lalu ternyata tidak hanya dialami oleh warga Kota Baubau.
Media-media lokal Sulawesi Tenggara telah melaporkan kejadian yang serupa juga
dialami oleh warga-warga daerah lain yang mengkonsumsi ikan dan kerang di
wilayah Sulawesi Tenggara. Kejadian ini sudah terjadi sejak Bulan Mei sampai
Bulan Juli 2010 dengan wilayah jatuhnya korban yang dilaporkan begitu luas
meliputi Kabupaten Muna (Kec. Maginti dan Kec. Napabalano), Kabupaten Buton
(Kec. Gu, Lakudo, Pasarwajo dan Lasalimu), Kota Bau-Bau dan sebagian pesisir
Buton Utara serta sudah menimbulkan beberapa orang korban meninggal dunia.
Jadi kemungkinan wilayah dan jumlah korban lebih luas
dan banyak dari yang kami tuliskan daftarnya di bawah ini.
1. Kejadian yang sudah berlangsung sejak Bulan
Mei namun baru dilaporkan Tanggal 22 Juni 2010. Lokasi : Desa
Moko, Mone, Lolibu dan Wajo Gu. Jumlah Korban : Hampir semua masyarakat di Desa
Moko, Mone, Lolibu dan Wajo Gu dengan korban meninggal 2 orang. Penyebabnya :
Setelah makan ikan dan kerang-kerangan yang ditangkap di sekitar Teluk
Lasongko. Gejala yang dialami : mual dan muntah.
2. Kejadian tanggal 18 Juni 2010. Lokasi : Desa
Gala Kecamatan Maginti, Muna. Jumlah Korban : 5 orang dengan kondisi 4 orang berhasil
diselamatkan dan 1 orang meninggal dunia. Penyebabnya : Setelah makan kerang
laut yang diambil dari laut. Gejala yang dialami : Muntah-muntah.
3. Kejadian Tanggal 27 Juni 2010. Lokasi :
Kecamatan Mataoleo, Bombana. Jumlah korban : 2 orang dengan kondisi dapat
diselamatkan. Penyebabnya : Setelah makan ikan cakalang hasil tangkapan
sendiri. Gejala yang dialami : mual, muntah dan sakit kepala.
4. Kejadian Tanggal 27 Juni 2010. Lokasi : Kota
Baubau. Jumlah korban : 6 orang dengan kondisi selamat. Penyebabnya : Setelah
makan siput yang dibeli di pasar wameo. Gejala yang dialami : kejang pada
bagian lidah dan tubuh serta muntah-muntah.
5. Laporan dari Puskesmas Wajo Kota Baubau
selama Bulan Juni 2010. Jumlah korban : 20 orang dengan kondisi selamat. Penyebabnya
: Setelah mengkonsumsi kerang dan ikan. Gejalayang dialami : mengalami gejala
muntah-muntah, keram dan tingkat kesadaran menurun.
6. Kejadian yang dilaporkan tanggal 9 Juli 2010.
Lokasi : Kelurahan Kadolomoko Kota Baubau. Jumlah korban : 1 orang dengan
kondisi selamat. Gejala yang dialami : keram dan mual. Penyebabnya : setelah
mengkonsumsi ikan.
7. Kejadian Tanggal 11 Juli 2010. Lokasi : Kota
Baubau. Jumlah Korban : 5 orang selamat. Gejala yang dialami : penglihatan
kabur, kejang-kejang dan mual-mual. Penyebabnya : setelah mengkonsumsi ikan
dari pasar sehat wameo.
8. Kejadian sekitar Tanggal 16 Juli 2010. Lokasi
: Pulau Batu Atas, Kabupaten Buton. Jumlah : 2 orang meninggal dunia. Gejala
yang dialami : tidak dilaporkan. Penyebabnya : setelah mengkonsumsi ikan.
9. Kejadian Tanggal 19 Juli 2010. Lokasi : Kec.
Sampolawa Kab. Buton. Jumlah Korban : 3 orang dengan kondisi selamat. Gejala
yang dialami : kondisi tubuh lemas. Penyebabnya : setelah mengkonsumsi ikan
cakalang.
10. Kejadian
Tanggal 24 Juli 2010. Lokasi : Desa Lakapera Kec. Gu, Buton. Jumlah Korban : 5
orang dengan kondisi 3 orang selamat dan 2 orang meninggal dunia. Gejala yang
dialami : mual-mual dan buang air terus menerus. Penyebabnya : setelah
mengkonsumsi kerang yang diambil dari Teluk Lasongko.
11. Kejadian
yang dilaporkan tanggal 28 Juli 2010. Lokasi : Kec. Lasalimu Kab. Buton. Jumlah
korban : 4 orang dengan kondisi selamat. Gejala yang dialami : tidak
dilaporkan. Penyebabnya : setelah mengkonsumsi ikan dan kerang.
12. Kejadian
Tanggal 30 Juli 2010. Lokasi : Kel. Kombeli, Takimpo dan Laburunci, Pasarwajo,
Buton. Jumlah Korban : Kombeli 4 orang, Takimpo 2 orang dan Laburunci 4 orang.
Gejala yang dialami : mual, pusing dan sakit kepala. Penyebabnya : Setelah
mengkonsumsi ikan yang di beli di Pasar Ompu Kelurahan Kombeli.
13. Selama Bulan
Juli 2010. Lokasi : Kel. Tampo, Napabalano, Muna. Jumlah Korban : Belum ada
laporan resmi. Gejala yang dialami : muntah-muntah, mual dan pusing.
Penyebabnya : Setelah mengkonsumsi ikan yang ditangkap oleh nelayan.
14. Kejadian
yang dilaporkan Tanggal 2 Agustus 2010. Lokasi : Buton Utara. Jumlah Korban :
Beberapa orang. Gejala yang dialami : pusing-pusing, muntah dan mata merah.
Penyebabnya : Setelah mengkonsumsi ikan.
15. Laporan
korban dari RSUD Kota Baubau selama Juni-Juli 2010. Jumlah Korban : Juni 13
Orang dan Juli, 23 orang yg mana semuanya selamat. Penyebabnya : keracunan
setelah mengkonsumsi hewan laut jenis ikan dan kerang.
2)
Penyebab
Keracunan
Adanya zat beracun dalam tubuh hewan laut diakibatkan
oleh penurunan kualitas lingkungan perairan seperti adanya pencemaran limbah
berbahaya atau munculnya fenomena Harmful Algae Blooms (HABs)/Ledakan
Alga Berbahaya (LAB)/red tide yakni fenomena adanya ledakan
populasi dari alga plankton mikroskopik (dalam bentuk fitoplankton, bukan
zooplankton) yang bersifat racun yang kemudian dikonsumsi oleh ikan dan kerang.

Ikan-ikan yang
mati secara massal yang diduga akibat fenomena red tide
3)
Gejala
keracunan
Waktu kejadian antar daerah yang satu dengan yang lain
relatif berdekatan dengan penyebab dan gejala yang dialami korban keracunan
relatif sama yakni disebabkan oleh ikan dan kerang dengan gejala mual,
muntah-muntah dan pusing.
4)
Proses
infeksi mikroba
Menurut WHO & European Commision
(2002) Harmful Algae Blooms (HABs)
adalah suatu fenomena blooming fitoplankton toksik di suatu perairan yang dapat
menyebabkan kematian biota lain. Toksin yang dihasilkan HABs dapat
mengkontaminasi manusia melalui perantara kerang dan ikan. Konsentrasi fosfat
antara 0,010 - 0,033 mg P/L atau lebih dapat memicu ledakan populasi
fitoplankton. Dari informasi ini dapat diketahui bahwa potensi terjadinya
ledakan populasi fitoplankton (algal blooming) di perairan Teluk sangat
besar (Ginkel, 2002).
Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti
dengan keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menimbulkan Ledakan Populasi
Alga Berbahaya (Harmful Algae Blooms – HABs). Faktor yang dapat memicu
ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi adanya
upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara; adanya hujan
lebat dan masuknya air ke laut dalam jumlah yang besar. Zat hara yang melimpah di satu sisi baik untuk
suatu perairan karena menandakan perairan tersebut subur, dan dapat
meningkatkan laju pertumbuhan fitoplankton atau alga. Menurut Sutomo (1993),
keberadaan fitoplankton di dalam suatu wilayah perairan mempengaruhi jumlah
populasi ikan yang berada di wilayah tersebut. Jumlah fitoplankton yang
melimpah dalam suatu sistem pembiakan akan menghasilkan jumlah ikan yang juga
melimpah (Jha et al., 2004). Di sisi lain, pertumbuhan fitoplankton yang
terlalu berlebih (algal blooming) akibat pengkayaan zat hara
(eutrofikasi) dapat menimbulkan dampak negatif karena beberapa spesiesnya dapat
menghasilkan senyawa toksik. Algal blooming juga menyebabkan
konsentrasi oksigen di wilayah tersebut menurun (hypoxia) dan
menyebabkan ikan kekurangan oksigen untuk bernafas yang pada akhirnya
menyebabkan kematian ikan dalam jumlah besar (WHO & European Commision,
2002).
Beberapa
penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton berbahaya
adalah Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Amnesic Shellfish
Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP). Racun-racun
tersebut sangat berbahaya karena di antaranya menyerang sistem saraf manusia,
pernapasan, dan pencernaan. Semua penyakit di atas berkaitan dengan konsumsi
kerang oleh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ginkel,
C. V. 2002 (online). Trophic status assessment: Executive summary.
Institute for Water Quality Studies,
Department of Water Affairs and Forestry. Pretoria. http://www.dwaft.gov.za/iwqs/
eutrophication/ NEMP/default.htm. 17 pp.
Jawetz, E., J.L.
Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
ke-20 (Alih bahasa : Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 211,213,215.
Jha, P., K.
Sarkar & S. Barat. 2004. Effect of different application rates of cowdung
and poultry excreta on water quality and
growth of ornamental carp, Cyprinus carpio Var. Koi, in concrete tanks. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences, 4: 17-22.
Ryan, K.J., J.J.
Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology
An Introduction to Infectious Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lange. p.254.
Sutomo, A. B.
1993. Rantai makanan dan alga pengganggu di laut. Dalam: I N. K.
Kabinawa, I M. S. Prana, E. Sukara
& U. Soetisna (Eds.) Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga. Puslitbang Bioteknologi LIPI, 10-12
Februari 1993, Bogor: 129-134.
WHO (World
Health Organization) & European Commission. 2002. Eutrophication and Health. Edited by K. Pond. Luxembourg:
Office for official Publication of the European
communities. 28 pp.
Komentar
Posting Komentar