PEMBUATAN BIOETANOL DARI LIMBAH AMPAS SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Zymomonas mobilis DALAM MENJAWAB TANTANGAN PENGGUNAAN BIOFUEL DI INDONESIA



Makalah OSN-PERTAMINA 2012

PEMBUATAN BIOETANOL DARI LIMBAH AMPAS SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Zymomonas mobilis DALAM MENJAWAB TANTANGAN PENGGUNAAN BIOFUEL DI INDONESIA

Oleh
JENDRI MAMANGKEY
 

I.   PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
          Bahan bakar hayati atau biofuel adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian. Ada tiga cara untuk pembuatan biofuel: pembakaran limbah organik kering (seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian); fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas, atau fermentasi tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester; dan energi dari hutan.
          Perkembangan dalam bidang pertanian dan industri pertanian seringkali menimbulkan peningkatan limbah pertanian yang sebagian besar merupakan limbah berlignoselulosa. Secara kimia limbah berlignoselulosa kaya akan selulosa yang dapat diolah menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terutama mengenai bahan bakar baru, maka limbah lignoselulosa dapat lebih efisien digunakan dengan modifikasi, salah satunya untuk proses produksi bioetanol.     .
          Bioetanol merupakan bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari biomassa yang mengandung pati, gula, dan lignoselulosa. Bahan bakar nabati merupakan alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) konvensional, sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada BBM konvensional. Penggunaan BBM konvensional telah diketahui tidak dapat dipertahankan lagi penggunaannya. Hal ini disebabkan jumlah cadangan minyak bumi semakin berkurang dan juga kontribusinya terhadap pemanasan global akibat terakumulasinya karbondioksida (CO2) di atmosfer hasil pembakaran minyak bumi (Milbrandt, et al 2008).                                          
          Metode yang paling banyak digunakan dalam memproduksi etanol adalah metode fermentasi yang mana membutuhkan karbohidrat sebagai substrat, sedangkan bakteri yang digunakan untuk fermentasi etanol adalah Zymomonas mobilis, hal ini karena Z. mobilis bersifat anaerob fakultatif (mampu tumbuh dalam lingkungan tanpa atau dengan oksigen).
          Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pembuatan bioetanol dari limbah ampas sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dengan menggunakan bakteri Zymomonas mobilis dalam menjawab tantangan penggunaan biofuel di Indonesia
B.   Perumusan Masalah
          Meningkatnya limbah pertanian akibat perkembangan industri pertanian menimbulkan pengaruh pencemaran lingkungan. Limbah pertanian merupakan hasil samping industri pengolahan pertanian. Salah satu limbah pertanian dari hasil samping industri adalah limbah sagu. Limbah sagu merupakan biomassa lignoselulosa yang mengandung komponen penting, seperti pati dan selulosa. Namun, limbah sagu belum banyak dimanfaatkan sehingga belum memiliki nilai ekonomi. Padahal, biomassa lignoselulosa limbah sagu berpotensi sebagai sumber BBN non-pangan dalam produksi bioetanol. Bioetanol yang berasal dari BBN non-pangan merupakan solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan persaingan sumber penghasil bioetanol dengan bahan pangan dan pakan. Oleh karena itu, perlu upaya yang sungguh-sungguh dalam mengembangkan bioetanol yang bersumber dari limbah sagu guna menyelesaikan permasalahan bangsa Indonesia khususnya serta permasalahan dunia umumnya dalam menghadapi tantangan dan menciptakan bahan bakar yang terbarukan guna menggantikan bahan bakar konvensional. Dalam pengembangannya terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan yang akan diungkap dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana kebutuhan dan konsumsi energi nasional?
2.      Apa kendala-kendala yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan biofuel ?
3.      Bagaimana potensi limbah sagu ( Metroxylon sagu Rottb) sebagai substrat alternatif penghasil bioetanol ?
4.      Bagaimana peran bakteri Zymomonas mobilis dalam fermentasi etanol ?
5.      Apa  keuntungan dari penggunaan bioetanol ?
C.   Tujuan
                     Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.        Untuk mengetahui produksi  biofuel  di Indonesia saat ini
2.     Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan biofuel
3.     Untuk mengetahui potensi limbah sagu ( Metroxylon sagus Rottb) sebagai bahan baku penghasil bioetanol
4.        Untuk mengetahui peran bakteri Zymomonas mobilis untuk  fermentasi etanol
5.        Untuk mengetahui keuntungan dari penggunaan bioetanol
D.   Metode Penulisan

   Penyusunan makalah ini dimulai dengan cara penggalian ide dan pengembangan kreativitas dilanjutkan studi pustaka yang didukung dengan konsultasi ke beberapa dosen kemudian dilakukan pengumpulan data dan informasi. Pembuatan makalah ini diarahkan oleh dosen pembimbing. Metode penulisan makalah yang lebih terstruktur disajikan pada Gambar 1.  
II.   PEMBAHASAN
A.   Kebutuhan dan Konsumsi Energi Nasional
          Tingkat kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 1,3 juta barrel per hari, padahal produksi BBM nasional hanya 950 barrel per hari, akibat kenaikan permintaan energi nasional yang terus melambung menyebabkan subsidi yang ditanggung pemerintah semakin tinggi. Oleh karena itu pemerintah mengkampanyekan agar masyarakat dapat terus melakukan hemat terhadap pemakaian BBM. Pulau Jawa-Bali berada pada urutan pertama penggunaan BBM, yakni sebanyak 57 persen dari keseluruhan penggunaan BBM nasional sehingga menjadi dasar pemerintah untuk melaksanakan pencanangan Gerakan Hemat BBM Nasional (Dep. ESDM 2008).
          Konsumsi energi final Indonesia tahun 2006 (Statistik DJLPE, 2006) yang sebesar 526.142.000 SBM didominasi oleh sektor industri (40,6%), kemudian berturut-turut diikuti oleh sektor transportasi (38%) dan rumah tangga dan komersial (21,4%).
Tabel 1. Konsumsi Energi Final Persektor 2006
Sektor
Konsumsi Energi Final (Ribu SBM)
Industri
213.692
Transportasi
199.613
Rumah tangga dan komersial
112.837
Total
526.142
Sumber: Statistik DJLPE, 2006.
          Untuk Indonesia dengan konsumsi energi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi, maka emisi karbon dari sektor energi akan terus meningkat. Strategi pengurangan emisi karbon dari sektor energi yang paling optimal adalah dengan menggunakan skenario Perpres No. 5/2006 yang meliputi diversifikasi dan konservasi energi (Draft Technology Need Assessment, 2008).
          Masalah energi alternatif saat ini sedang menjadi perbincangan yang ramai di masyarakat. Krisis bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah menggugah masyarakat bahwa Indonesia sangat bergantung pada minyak bumi, karena dilihat dari luas daratan serta tanahnya yang relatif subur, dengan keanekaragaman hayati yang berlimbah, maka Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan bahan bakar dari tumbuhan atau biofuel, yang merupakan energi alternatif yang cocok dengan Indonesia. Energi alternatif biofuel yang dapat diperbarui dapat memperkuat ketersediaan bahan bakar, selain itu biofuel juga ramah lingkungan sehingga bisa meningkatkan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia. Karenanya untuk mengembangkan bahan bakar tipe ini perlu kerja sama yang harmonis dari semua pihak, termasuk pemerintah, industri otomotif dan swasta.
          Produksi etanol Nasional pada tahun 2006 mencapai sekitar 200 juta liter. Kebutuhan etanol Nasional tersebut pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
B. Kendala-kendala yang Dihadapi Indonesia Dalam Mengembangkan Biofuel
          Biofuel juga diduga sebagai salah satu faktor penyebab banyaknya hutan yang gundul dan mengurangi produksi pangan karena lahan-lahan digunakan untuk penanaman tanaman bahan-bahan baku biofuel. Penggunaan lahan pada akhirnya menjadi pilihan yang sulit, karena di satu sisi para petani ingin memenuhi kebutuhan pangan kita dengan hanya mendapatkan keuntungan yang minimal. Di sisi lain, mereka juga ingin mendapatkan keuntungan yang lebih baik dengan menanam tanaman sumber biofuel.
          Mengingat pada saat ini bahan baku biofuel banyak yang berasal dari tanaman jagung, tebu, dan kelapa sawit, maka sementara pengamat beranggapan bahwa pengembangan biofuel telah menimbulkan dampak negatif yaitu berkurangnya lahan pertanian pangan dan kenaikan harga pangan. Padahal kebutuhan pangan meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan pola makan negara-negara besar seperti China dan India. Sungguh amat disayangkan jika untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan bagi negara maju di belahan bumi Utara, negara-negara berkembang di belahan bumi selatan menjadi korban akibat krisis pangan. Sejalan dengan itu, keamanan pangan (food security) merupakan salah satu dari 3 (tiga) target utama pembangunan pertanian di Indonesia. Dua lainnya adalah kenaikan pendapatan petani (increase farmers income), dan pembangunan agribisnis (agribusiness development).
          Pro dan kontra tentang biofuel terus berkembang sampai saat ini. Banyak juga orang yang mengajukan beberapa solusi dalam mengurangi dampak dari biofuel. Di antaranya adalah peran utama pemerintah sebagai regulator sangat penting agar tidak terjadi pemakaian lahan pangan bagi penanaman tanaman bahan baku biofuel. Pemerintah mengupayakan agar lahan yang dipakai sebagai lahan kebun biofuel adalah lahan kritis, bukan hutan atau lahan kebun. Dan jenis tanaman yang dipakai sebagai bahan biofuel adalah bukan tanaman untuk kepentingan pangan.
          Pengembangan perkebunan sagu komersial memerlukan bahan tanam unggul dalam jumlah besar. Ini merupakan kendala utama pada saat ini. Salah satu alternatif penyediaan bibit unggul sagu adalah dengan teknik kultur jaringan. Teknologi kultur jaringan tanaman sagu telah berhasil dikembangkan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia melalui embriogenesis somatik. Prosedur pembentukan embrio somatik dan planlet telah berhasil dengan baik, namun masih ada hambatan dalam aklimatisasi bibit (Nurdyastuti,  2008).

C.  Potensi Limbah Sagu ( Metroxylon sagus Rottb) Sebagai Bahan Baku Penghasil Bioetanol 
a)             Potensi
            Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, bagas (ampas tebu), dan limbah sagu. Sebagai negara yang terletak didaerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat sehingga mampu menjadi sumber karbohidrat terbesar didunia. Salah satu tanaman yang menyimpan karbohidrat atau pati pada bagian batangnya adalah sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Pati sagu selain digunakan sebagai bahan makanan, juga digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai macam industri, seperti industri pangan, tekstil, komestik, farmasi dan lain-lain. Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya, produktifitasnya bisa mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun apabila dikelola dengan baik, lebih tinggi dibandingkan dengan ubi atau kentang yang hanya mencapai 10-15 ton pati kering/ha/tahun (Bintoro 2008).

          Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000 ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang efisien sebagai penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7
ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.
b)     Limbah sagu sebagai bahan baku penghasil Bioetanol
          Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balak sagu (Singhal et al. 2008).
          Kiat (2006) melaporkan bahwa limbah sagu mengandung komponen penting seperti pati dan selulosa. Jumlah limbah kulit batang sagu mendekati 26%, sedangkan ampas sagu sekitar 14% dari total bobot balak sagu. Ampas mengandung 65,7% pati dan dan sisanya merupakan serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Dari persentase tersebut ampas mengandung residu lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 20% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung selulosa (57%) dan lignin yang lebih banyak (38%) daripada ampas sagu.
          Potensi sagu di Indonesia saat ini seluas 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia dan pemanfaatan tanaman sagu sejauh ini cenderung terfokus pada pati yang dihasilkannya. Pengolahan batang sagu menjadi pati hanya 16- 28%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil industri pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya (Asben 2005). Kiat (2006) melaporkan bahwa jumlah ampas sagu dan pati yang besar di dalam air limbah praolah berkontribusi terhadap BOD dan COD air limbah secara signifikan. Limbah ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius bila tidak di perlakukan untuk tujuan tertentu atau dibuang dengan cara yang benar. Dengan demikian, limbah sagu dapat menjadi alternatif sumber BBN yang berasal dari biomassa lignoselulosa.
          Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Potensi sagu (Metroxylon sagu Rottb.) sebagai sumber bahan pangan dan bahan industri telah disadari sejak tahun 1970-an, namun sampai sekarang pengembangan tanaman sagu di Indonesia masih jalan di tempat. Sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman sagu tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Batang sagu ditebang menjelang tanaman berbunga, saat kandungan patinya tertinggi. Setelah pohon ditebang, empulur batang diolah untuk mendapatkan tepung (pati) sagu. Tepung sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Kandungan kalori, karbohidrat, protein, dan lemak tepung sagu setara dengan tepung tanaman penghasil karbohidrat lainnya.
          Sagu berpotensi menjadi bioetanol bahan bakar nabati (BBN) karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 85% dan kandungan kalori 357 kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu tersebut dari 6,5 kg tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol (Tarigan, 2001). Perkiraan potensi produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar, karena hal ini berkaitan dengan luas areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per hektar per tahun, dan produksi pati kering per pohon. Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami sehingga produktivitasnya sangat beragam. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri sekitar 210 ton atau baru 4-5% dari potensi produksi. Apabila tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk bioetanol maka dapat diperoleh bioetanol 3 juta kiloliter per tahun dengan asumsi faktor konversi 0,6. Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per tahun. Apabila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar 10% (campuran premium dan etanol 90:10) maka diperlukan etanol sebanyak 1,6 juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari pati sagu saja. Tentu saja angka tersebut tidak realistis karena sangatlah sulit memanfaatkan seluruh potensi hutan sagu mengingat lokasi tegakan alami sagu yang terpencil dan sulit dijangkau.                              
          Lignin dan selulosa yang terkandung dalam limbah sagu membentuk ikatan lignoselulosa bersama dengan hemiselulosa. Oleh karena itu, potensi biomassa lignoselulosa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai gula fermentasi dalam bahan baku produksi bioetanol sehingga meningkatkan nilai ekonomi limbah sagu. Namun, belum banyak pemanfaatan limbah tersebut sebagai bioetanol dan untuk memanfaatkan komponen yang terkandung di dalamnya dibutuhkan metode hidrolisis agar menghasilkan rendemen gula yang tinggi (Akmar dan Kennedy 2001).
          Sebagian kebutuhan bioetanol dapat dipenuhi dari tanaman penghasil karbohidrat lain seperti ubi kayu, tebu, dan jagung, dari limbah padat organik pertanian, dan dari perkebunan sagu komersial. Perkebunan sagu yang diusahakan dengan baik dapat menghasilkan pati kering 25 ha/tahun, setara dengan 15 kiloliter etanol. Bioetanol sebagai campuran premium tidak mengandung timbal dan tidak menghasilkan emisi hidrokarbon sehingga ramah lingkungan. Karena dihasilkan dari tanaman maka bioetanol dari sagu bersifat terbarukan. Hanya saja produksi etanol dengan teknologi sederhana harus diawasi secara ketat untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaannya sebagai minuman keras.                                                                         Dalam pengolahan sagu banyak dihasilkan limbah sagu, baik berupa padat maupun cair. Aspek lingkungan menjadi begitu penting karena berkaitan erat dengan perihal pembuangan limbah yang kerapkali menjadi permasalahan bagi lingkungan. Limbah seringkali masih mengandung zat-zat racun yang berbahaya. Pemanfaatn limbah sagu adalah upaya terbaik dalam mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan oleh industri pengolahan sagu. Selain itu memberikan manfaat bagi pemerintah dalam upaya mencari bahan alternatif pembuatan etanol, sementara etanol sendiri adalah produk yang mempunyai nilai jual tinggi.
          Pemanfaatan bioetanol dari biomassa lignoselulosa limbah sagu perlu mendapatkan perhatian serius. Hal ini dapat meningkatkan nilai ekonomi limbah sagu yang sebelumnya hanya digunakan untuk bahan bakar dan pakan ternak. Kegunaan biomassa lignoselulosa dapat dimanfaatkan untuk memproduksi energi terbarukan harus ditingkatkan untuk mengurangi pemanasan global dan dapat menyediakan energi tinggi untuk menggantikan BBM konvensional. Oleh karena itu, biomassa selalu menjadi sumber energi utama untuk makhluk hidup dan diperkirakan berkontribusi 13% dari suplai energi dunia dan persentase yang lebih besar lagi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Tsukahara dan Sawayama 2005).
          Alternatif sumber BBN non-pangan perlu dikembangkan untuk mengatasi masalah kompetisi BBN dengan pangan dan pakan. Hal ini menarik perhatian pada limbah untuk melakukan modifikasi, terutama biomassa lignoselulosa limbah sagu sebagai penghasil bioetanol. Pemanfaatan limbah tersebut juga dapat mengatasi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah sagu, diantaranya pengaruh BOD dan COD air limbah. Limbah sagu yang diperoleh setelah seluruh pati diambil belum dapat dihidrolisis dengan mudah dan efisien. Secara kimia biomassa lignoselulosa kaya akan selulosa, sehingga limbah sagu dapat dimanfaatkan sebagai penghasil bahan baku bioetanol. Selulosa limbah sagu, yaitu ampas sagu sebesar 19,55% dan kulit batang sebesar 56,86% (Kiat 2006). Selain komponen selulosa juga terdapat hemiselulosa dan lignin. Selulosa, hemiselulosa dan lignin hadir dalam jumlah yang beragam pada bagian-bagian tumbuhan yang berbeda dan keberadaanya selalu dikaitkan dengan fungsinya untuk membentuk kerangka struktrual dari dinding sel tumbuhan. Komposisi lignoselulosa bergantung pada spesies tumbuhan, umur dan kondisi pertumbuhan.           
D.   Peran Bakteri  Zymomonas mobilis Dalam Fermentasi Etanol
          Produksi etanol dari biomassa lignoselulosa terdiri atas beberapa langkah, diantaranya hidrolisis lignin dan hemiselulosa (praperlakuan), hidrolisis selulosa, fermentasi, pemisahan residu lignin, pemulihan etanol, dan penanganan air limbah (Galbe dan Zacchi 2007).
          Tahapan awal proses produksi bioetanol yaitu praperlakuan. Praperlakuan bertujuan menghilangkan hemiselulosa dan lignin, sehingga memudahkan proses hidrolisis selulosa (Gong et al. 1999). Hal ini disebabkan selulosa terlindung dalam matriks hemiselulosa dan lignin. Selanjutnya tahap hidrolisis enzimatik menggunakan enzim selulase yang dapat menguraikan selulosa menjadi monomer gula. Monomer gula yang terbentuk difermentasi menggunakan ragi untuk mengubah gula menjadi etanol. Kemudian etanol dimurnikan dengan cara distilasi dan penguapan untuk menghilangkan pengaruh pelarut. Setelah itu, dilakukan pencucian dan penanganan limbah agar tidak mencemari lingkungan.
          Proses dasar pembuatan etanol dari tumbuh-tumbuhan dalam skala besar adalah dengan menggunakan mikroba yang mampu memfermentasikan gula yang terkandung didalamnya, setelah proses fermentasi terjadi, gula kemudian mengalami proses distilasi, dehidrasi dan denaturisasi sebagai tahap akhir, namun demikian ada beberapa jenis tanaman yang memerlukan proses tambahan pada saat fermentasi, yaitu proses hidrolisasi agar gula dapat berubah menjadi karbohidrat (Kardono, 2008).
          Perkembangan penelitian yang ada bahwa etanol dapat dihasilkan melalui proses fermentasi oleh Mikroorganisme diantaranya adalah ragi atau khamir (Saccharomyces cereviceae), namun tidak tahan terhadap etanol konsentrasi tinggi yang dihasilkan. Penelitian yang sekarang difokuskan pada bakteri gram negatif Zymomonas mobilis. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif dan merupakan organisme fermentatif yang memanfaatkan sukrosa, glukosa dan fruktosa dengan mengikuti jalur Entner Duondoroff Pathway untuk menghasilkan etanol.
          Zymomonas mobilis memilki kelebihan dibandingkan Saccharomyces cerevisiae, diantaranya konversi yang lebih cepat, toleran terhadap suhu, pH rendah serta tahan terhadap etanol konsentrasi tinggi (Triphetchul et al, 1992). Zymomonas mobilis ini memiliki karakteristik sebagai bakteri Gram negatif anaerob, tetapi toleran terhadap oksigen atau biasa disebut anaerob fakultatif, dapat memfermentasi glukosa, fruktosa dan sukrosa menghasilkan sejumlah etanol dan CO2 (Hendrie dan Shewan, 1966), tetapi tidak dapat memfermentasikan manitol dan laktosa, mampu menghasilkan enzim katalase, tidak dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon serta tidak memiliki enzim triptofanase dan gelatinase (Hany, 2009). Media pertumbuhan bakteri Zymomonas mobilis terdiri dari glukosa, yeast ekstrak, ammonium sulfat (NH4)2SO4, Kalium Dihidrogen Posfat (KH2PO4), Magnesium Sulfat (MgSO4.7H2O). Glukosa berfungsi sebagai sumber karbon, yeast ekstrak dan garam amonium berfungsi sebagai sumber nitrogen. Sedangkan garam-garam yang lain seperti kalium dan magnesium berfungsi sebagai aktivator dalam kerja enzim (Schlegel, 1994). Penyediaan biakan Zymomonas mobilis meliputi 2 tahap yaitu penanaman dalam media padat dan selanjutnya penanaman dalam media cair.
          Penanaman dalam media padat bertujuan untuk memperbanyak stok biakan murni. Biakan Zymomonas mobilis mampu tahan dalam media padat selama dua minggu, sehingga perlu diregenerasi/diremajakan setiap dua minggu sekali. Pemindahan biakan Zymomonas mobilis dari media padat ke media cair dengan tujuan untuk memperoleh inokulum yang sudah beradaptasi dengan lingkungan fermentasi. Dalam media cair dilakukan pengocokan agar kebutuhan oksigen terpenuhi dan tidak terjadi endapan koloni. Z. mobilis mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi dan tahan terhadap konsentrasi etanol 10% dan dapat memfermentasi gula menjadi etanol dan CO2 melalui jalur glikolitik Enhtner-Doudoroff.
          Fermentasi etanol dilakukan menggunakan proses anaerob, yaitu dengan shaker sangat pelan 50 rpm. Shaker pelan hanya difungsikan sebagai penghomogenan larutan supaya bakteri tidak mengendap dibawah untuk mengoptimalkan proses fermentasi. Hal ini karena Z. mobilis bersifat anaerob fakultatif (mampu tumbuh dalam lingkungan tanpa atau dengan oksigen). Dalam hal ini oksigen akan menekan fermentasi dan menguntungkan respirasi (Schlegel, 1994). Media fermentasi glukosa hasil ekstrak dari residu glukosa yang ada pada substrat sebagai sumber karbonnya dengan konsentrasi 10%, Sedangkan sumber nitrogen dan garam-garam lain sama dengan media cair. Sebagai kontrol menggunakan sumber karbon dari glukosa murni.
          Untuk fermentasi pada kondisi steril semua bahan disterilisasi atau diautoclave selama 20 menit pada suhu 1210C. Sedangkan untuk fermentasi pada kondisi nonsteril semua bahan tidak disterilisasi atau diautoklaf. Kedua media fermentasi ini dilakukan pada pH normal. Pola fermentasi etanol menggunakan Z. mobilis diperoleh dengan melihat pola konsumsi glukosa, produksi etanol dan konsentrasi biomassa setiap 10 jam selama 50 jam. Dalam proses fermentasi akan terjadi peningkatan jumlah etanol dan penurunan jumlah residu glukosa. Dimana glukosa sebagai substrat akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi etanol (Saraswati, 2006).
E.   Keuntungan Penggunaan Bioetanol
          Bioetanol dihasilkan dari sumber nabati dari tumbuhan bergula dan berselusa memiliki keunggulan sebagai berikut:
1.     Memiliki angka oktan yang tinggi
2.    Mampu menurunkan tingkat opasiti asap, emisi partikulat yang membahayakan kesehatan dan emisi CO dan CO2
3.      Mirip dengan bensin, sehingga penggunaanya tidak memerlukan modifikasi mesin.
4.      Tidak mengandung senyawa timbal
(Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, 2008)
          Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) digunakan sebagai bahan pencampur antara pertamax dengan premium, keunggulan pati sagu sebagai bahan baku etanol adalah produktivitas pati tinggi dibandingkan dengan komoditas penghasil pati lainnya (sagu 25 ton/ha/tahun, padi 6 ton, jagung 5,5 ton, kentang 2,5 ton, ubi kayu 1,5), bahkan peneliti jepang menempatkan sagu diurutan pertama sebagai sumber bahan baku (Ishizaki 2007).
III.   PENUTUP
A.      Simpulan
          Dari hasil pembahasan makalah ini, maka dapat ditarik suatu simpulan bahwa:
1.         Peningkatan limbah pertanian dari hasil samping industri dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternatif penghasil BBN. Pada saat ini, BBN hanya dihasilkan dari biomassa pati dan gula, sedangkan biomassa lignoselulosa belum banyak dimanfaatkan. Hal ini menyebabkan persaingan sumber BBN dengan pangan dan pakan.
2.         Limbah sagu sebagai hasil samping industri pengolahan pati memiliki potensi sebagai penghasil bahan baku produksi bioetanol. Selama ini, limbah sagu hanya digunakan sebagai kayu bakar atau pakan ternak. Limbah sagu mengandung lignoselulosa yang kaya akan selulosa sehingga dapat dijadikan sebagai inovasi sumber BBN non-pangan.
3.         Metode tahapan yang dapat dilakukan dalam produksi biomassa lignoselulosa dari limbah sagu adalah hidrolisis hemiselulosa (praperlakuan), hidrolisis enzimatik selulosa, dan fermentasi seluruh gula.
4.   Bakteri Zymomonas mobilis bersifat anaerob fakultatif dan merupakan organisme fermentatif yang memanfaatkan sukrosa, glukosa dan fruktosa dengan mengikuti jalur Entner Duondoroff Pathway untuk menghasilkan etanol. Zymomonas mobilis memilki kelebihan dibandingkan dengan mikroba lainnya, diantaranya konversi yang lebih cepat, toleran terhadap suhu, pH rendah serta tahan terhadap etanol konsentrasi tinggi
5.      Limbah sagu sebagai bioetanol memiliki keuntungan yaitu meningkatkan nilai guna limbah sagu, sumber BBN nonpangan, dan mengurangi pencemaran lingkungan.
B.       Saran
          Potensi limbah sagu sebagai biomassa lignoselulosa untuk dijadikan sebagai sumber bioetanol pengganti BBM konvensional perlu mendapatkan perhatian khusus untuk dikembangkan. Sebaiknya ada kerjasama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri hasil pertanian. Promosi produk bioetanol dari limbah sagu sebaiknya dilakukan lebih intensif. Kemudian perlunya penelitian lebih lanjut agar bioetanol yang dihasilkan dapat menjadi lebih baik.
                              
         






DAFTAR PUSTAKA
Akmar PF dan Kennedy JF. 2001. The potential of oil and sago palm trunk wastes
            as carbohydrate resource. Wood Sci and Technol. 35: 467-473.

Asben A. 2009. Pemanfaatan Limbah Sagu untuk Pengembangan Enzim Selulase
            Termite dalam Produksi Bioetanol [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Bailey, B.K., 1996. Performance of Ethanol as a Transportation Fuel dalam Hand Book on Bioethanol : Production and Utilization, editor C.E., Wayman, Taylor & Francis, Washington, hal.37-60.

Bintoro H. 2008. Bercocok Tanam Sagu. Bogor : IPB Press.

Chemiawan T. 2007 Membangun industri bioetanol nasional sebagai pasokan energi berkelanjutan dalam menghadapi krisis energi global. http// www. Mahasiswanegarawan.worspress.com/ 43 k.

Departemen Pertanian ”Technological Needs Assessments (TNA) Sektor Pertanian-Draft” Disampaikan pada:Workshop Working Group on    Technology Transfer, 23 April 2008.

[Dep. ESDM] Departmen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Kemajuan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Dep. ESDM, Jakarta.

Flach, M. 1997. Sago palm, Metroxylon sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting the Conservation and use of  Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy and IPK. Germany. 71 pp.

Galbe M, Zacchi G. 2007. Pretreatment of Lignocellulosic Materials for Efficient Bioethanol Production. Adv Biochem Eng/Biotechnol 108: 41- 65.

Ishizaki A. 2007. Necfer’s New Technology for Bioethanol from Sago Log. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia, Batam 25-26 Juli 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. pp.:66-75.

Kardono “Teknologi Road Map Teknologi Rekayasa Atmosfir (Global Warming)    2007-2014” Rapat Koordinasi BPPT 2008.

Karim A. Tie PL, Manan DMA, dan Zaidul ISM. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree—Properties, Prospects, and Challenges as a     New Industrial Source for Food and Other Uses A.A. Comprehensive Reviews In Food Science and Food Safety 7: 1-14

Kiat LJ. 2006. Preparation and characterization of carboxymethyl sago waste and
            its hydrogel [tesis]. Malaysia: Universiti Putra Malaysia.

Louhenapessy, J.E. 1994. Evaluasi dan klasifikasi kesesuaian lahan bagi sagu (Metroxylon spp). Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta. Disertasi.

Milbrandt, A and Overend RP (2008) The Future of Liquid Biofuels for APEC       Economies Energy Working Group May 2008 , National Renewable  Energy Laboratory (NREL)    Golden.

Nurdyastuti. 2008. Teknologi proses produksi bio-ethanol, prospek pengembangan biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak. Balai    Besar   Teknologi Pati – BPPT. Jakarta.

Saraswati. Jurnal Fermentasi Etanol Menggunakan Bakteri Zymomonas mobilis      dari glikosa hasil hidrolisa enzimatik bagas. http://www. Fermentasi       Zymomonas mobilis. Diakses 20 Juli 2006

Singhal RS, Kennedy JF, Gopalakrishnan SM, Kaczmarek Agnieszka, Knill CJ,     dan Akmar PF. 2008. Industrial production, processing, and utilization of       sago palm-derived products. Carbohydr Polym 72: 1-20.

Tarigan. D. D. 2001. Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian    dan Pengembangan Pertanian. 23 (5): 1-3

Timnas BBN (2006) Blue Print Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran 2006-2025, Tim Nasional   Pengembangan Bahan Bakar Nabati.

Tsukahara K, Sawayama S. 2005. Liquid fuel production using microalgae. J Jpn
Petrol Inst 45:251-259 [terhubung berkala] http://www.jstage.jst.go. jp/article/jpi/48/5/251/_pdf [ 1 Mar 2009].

Unggul Priyanto (Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT), “Bahan    Bakar Nabati Alternatif Pengganti Bbm Untuk Meningkatkan Ketahanan Suplai Energi Nasional” Rapat Koordinasi BPPT 2008..

Wyman, C. E. 2002. “Potential Synergies and Challenges in Refining Cellulosic     Biomass to Fuels” Biotechnol Progress.


 

Komentar

  1. Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment,STP dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com
    Hp:081310849918

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum: Pembuatan Kombucha

PEMBUATAN WINE (ANGGUR)

KERAGAMAN JENIS BENTHOS DI PERAIRAN WISATA BAHARI DESA TANJUNG TIRAM KECAMATAN MORAMO UTARA KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA