Merakit cDNA: Masa Depan atau Angan-Angan?


40451_34703.jpg
https://kompas.id/foto/






‘Anggun’ hasil kerja kerasnya keelokan, ketampanan dan kecantikan. Keanggunan itu bisa disetir dari setiap sisi. Rambut panjang dan bergelombang padat bisa digunting, alis tebal bisa dibentuk. Keanggunan mahkota hidup bagi sang raga. Tak seorang pun yang mau ditinggal oleh anggunnya
Bagaimana dengan Citarum? Mungkinkah dia bersedia untuk tidak anggun? Tolong bisikkan pada Citarum nyamankah engkau tanpa keanggunan? Saya dan pembaca lain akan menunggu hasil bisikan saudara.
Bak sumber surga kehidupan, Citarum itu urat nadi yang terbaring luas disepanjang Provinsi Jawa Barat. Pembuluh yang mengalirkan air bagi ekosistem dan manusia yang hidup bertetangga dengan Citarum.
Kita bisa bayangkan mereka tanpa citarum, akan seperti apa kehidupan tanpa sistem perairannya. Menjandalah persawahan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sumber air bersih di daerah itu.
Saat ini apa yang terjadi dengan tubuh Citarum? Jerawat bermunculan di wajahnya. Karena ketidaktenangan akan ancaman kerusakan lingkungan.
Keanggunannya tergores oleh manusia yang hidup berdampingan dengannya. Untuk memeluk pun harus mengebas dahulu debu-debu yang berserakan ditubuhnya. Sungguh miris melihatnya.
Anggapan semua pihak bahwa Citarum terancam tak pernah bisa bersih kembali seolah pertanda tebalnya debu-debu menyelimuti. Sampah dan limbah menjadi momok ketakutan Citarum akibat bejatnya segelintir tangan-tangan jail.
‘Sampah’ seharusnya berada ditempat terbaiknya, sekarang harus berlayar ditengah-tengah Citarum. Lihat saja saat ini Citarum tengah membangun anak gunung sampah rumah tangga dan limbah industri beberapa tahun belakang ini (sumber: beritagar.id, 23/3/2018).
Tak butuh waktu lama lagi induk gunung akan berwujud. Apa pembuangan sampah kelebihan beban, sehingga Citarum menjadi korban.
                                                               Foto Andri Tambunan/Greenpeace
‘Racun’ mungkin saja dia sudah mulai bosan hanya terkemas dalam wadah, sekarang berhasil membebaskan diri hingga tertidur disepanjang perairan. Hasil temuan dilapangan bahwa sewaktu-waktu warga dibantaran Citarum dapat terkena penyakit akibat cemaran limbah industri (sumber: cnnindonesia.com, 20/3/2018).
Berapa banyak lagi ketambahan warga mengantri raskin jika begini kejadiannya. Penyakit yang tidak diinginkan mulai menyapa. Setiap menitnya terus dihantui datangnya bibit-bibit penyakit. Dari mana uang untuk menebus obatnya? Ujung-ujungnya seruan meminta lagi ke pemerintah.

        Foto aktivis lingkungan dari komunitas Elingan berinisiatif memantau pembuangan dari pabrik (Anadolu Agency/Eko Siswono)
Indonesia’s Citarum: The World’s Most Polluted River’ topik yang termuat dalam pemberitaan thediplomat.com (4/28/2018) berhasil menyadarkan kembali pembaca betapa berpenyakitnya Citarum. Dunia menoleh balik satu titik sungai andalan Indonesia, sayangnya bukan referensi bagi mereka untuk beramai-ramai mengunjunginya sebagai surga wisata.
Berandai-andai boleh saja, jika Citarum disulap menjadi sungai paling indah didunia akan lain lagi ceritanya. Bule-bule jauh datang bukan lagi untuk memungut sampah dengan menonton wahana limbah tapi bersama keluarga mereka boleh menikmati suguhan kolam panjang yang tenang.
Melihat kondisi ini pemerintah tampil melontarkan berbagai janji-janji untuk memperbaiki. Segala jurus pamungkas telah dikeluarkan, mulai dari tahun 1989 ada prokasih (program kali bersih), 2001 Citarum bergetar (bersih, geulis, dan lestari), 2008 program Citarum terpadu dengan pinjaman dana dari Asian Development Bank (ADB).
Tahun 2013 ada program Citarum bestari (bersih, sehat, indah, dan lestari). Diakui oleh pemerintah bahwa pelaksanaan program belum optimal, dan belum adanya sinergitas program dengan kabupaten-kabupaten, oleh karenanya pemerintah menyodorkan kembali program ‘Citarum harum’ dan targetnya akan rampung dalam tujuh tahun (sumber: kumparan.com, 22/3/2018).
Sampai diujung jalan 'program', apa hasilnya? belum ada, semua masih tertidur.
Keberhasilan Citarum menyandang gelar sungai paling kotor didunia berhasil mengetuk hati para lembaga di Indonesia. Tidak ketinggalan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI (Menristekdikti), Muhammad Nasir mulai menyiarkan perintah kepada perguruan tinggi di Jawa Barat dan DKI Jakarta untuk terlibat langsung proses pembersihan Sungai Citarum (sumber: liputan 6.com, 11/05/2018).
Untuk merakit Citarum bernuansa anggun perlu membombardir virus-virus yang membuat nuansa Citarum menjadi tidak harum lagi namanya. Langkah pemerintah menggandeng Menristekdikti adalah upaya yang cukup apik mengingat lembaga ini mengantongi peluru-peluru jitu yang bermukim diperguruan tinggi.
Tidak mudah dan tidak sulit jua untuk meregenerasikan sungai terkotor di dunia ini. Apa yang kita tabur kini itulah yang akan kita tuai nantinya bersama.
Akar permasalahan Citarum bukan semata-mata dari pemerintah saja, hanya saja memang pemerintah belum secara optimal menggendong elemen-elemen pendukung untuk menyelesaikan masalah.
"Apa yang menjadi kebutuhan Citarum?"
Citarum membutuhkan susunan DNA baru untuk mematangkan rencana. DNA yang akan merubah wujud, sifat dan karakter si Citarum. Dan inilah dia urutan taktik merakit cDNA (citarum Daerah Nuansa Anggun).
                                                Taktik Merakit cDNA (citarum Daerah Nuansa Anggun)
Gotong-Royong
Pilar ini sebenarnya sudah mendarah daging dipikiran kita sebagai orang Indonesia. Hingga menjadi sebuah tradisi lokal masyarakat. Bowen (1986) dalam jurnal ilmiahnya menyebutkan bahwa gotong royong bagian sistem kekuasaan politik dan budaya. Untuk menguasai politik dan budaya perlu namanya gotong royong.
Luruhkah budaya gotong royong masyarakat kita saat ini? Atau berakhir menjadi penonton. Tantangannya saat ini maukah kita menjadi pribadi yang bergotong-royong. Sederhananya bagi yang bermukim disekitar Citarum merapihkan pikiran dan waktunya untuk bergotong-royong mengemas cantik lingkungan.
Untuk ketua RT dan RW membantu menampung masalah dan berhak melaporkannya secara dini pada pemerintah daerah untuk menanggulangi persoalan lingkungan. Memang hal ini terdengar sederhana tapi sulit realisasinya.
Laporan bisa dilakukan sekilat mungkin, perlu disediakan aplikasi handphone untuk menabung laporan yang akan segera diterima pemerintah daerah. Sedini mungkin mencegah akan lebih baik dari pada menimbun banyak masalah.
Kemerdekaan lepas dari jajahan sampah dan polusi ibarat melepaskan diri dari kolonialis, Indonesia saja bisa merdeka kenapa Citarum tidak bisa merdeka. Dahulu masanya bambu runcing untuk melawan penjajah, sekarang masanya gotong royong untuk melawan sampah.
Citarum membutuhkan pahlawan-pahlawan yang tidak kesiangan. Dari pagi sudah tergerak hatinya memberikan sumbangsih pemikiran yang berakibat tindakan. Gotong royong tidaklah mengangkat kiloan senjata berat, bukan juga jalan sambil tiarap.
Awalnya gotong-royong sehari tanpa plastik, sebulan tanpa sampah hingga setahun tanpa limbah. Jangan jadikan ini sebatas program, tapi lebih dari itu jadikan kegiatan berlanjut hingga khatam
Ide Inovatif Masyarakat dan Mahasiswa (I2M2) Terprogram
Informasi yang serba canggih tidak membuat sulit masyarakat dan mahasiswa. Sebenarnya tidak cukup mahasiswa dan masyarakat disekitar Citarum, masyarakat dan mahasiswa diluar daerah Citarum perlu melihat dan berpikir bersama menyelesaikan masalah.
Pemikiran dan ide peluru bombastis menghancurkan kerusakan Citarum yang berlarut-larut. Ide masyarakat perlu dijadikan tabungan bagi pemerintah sang eksekusi. Masyarakat dan komunitas pemerhati lingkungan duduk bersama menyicil ide-ide inovatifnya dalam sebuah forum.
Pembuatan rancangan dan protokol diregulasi dalam laporan mingguan sebagai bahan evaluasi kegiatan. Hal ini bukan bahan pertimbangan melainkan sebuah tantangan bagi kita semua penghuni negeri.
Realitanya kelompok masyarakat sudah lebih memahami kondisi lapangan Citarum, mental pemikiran untuk menendang jauh perilaku negatif terhadap kerusakan lingkungan citarum rasanya belum mencapai klimaks.
Kecintaan mereka terhadap lingkungan belum berapi-api, jadi untuk memanaskannya dibutuhkan aksi individu yang mendoktrin individu lain membebaskan Citarum dari kebiasaan kena rugi.
Kita telah membaca dan mendengar bersama banyak instrumen ciptaan anak negeri tentang restorasi sungai dari sampah dan limbah. Mengapa hal ini belum menyentuh hasil di Citarum? Tentunya pemerintah dan kementerian terkait perlu berdampingan dengan mahasiswa memproses kesulitan-kesulitan implementasi dilapangan.
Mungkin yang perlu ditambahkan pemerintah adalah sumbangsih ide dan aksi dari mahasiswa diluar kawasan Citarum perlu ditampung juga. Jadikan ini masalah nasional bukan regional.
Lewat program KKN nusantara awal dari aktualisasi diri seorang mahasiswa berpikir dan berimajinasi buat negeri pertiwi. Batasan untuk kalangan mahasiswa regional bukan solusi yang mutlak. Banyak juga anak negeri luar daerah yang siap berperang melawan jajahan sampah.
Lewat mahasiswa diharapkan dapat menularkan virus positif bagi masyarakat untuk memeluk erat lingkungannya melalui cara yang bersifat konstruktif.
Baru-baru ini kita dikagetkan dengan aksi dua pemuda asal Perancis Gary Bencheghib dan Sam Bencheghib. Mereka mulai mengarungi sungai Citarum dengan membawa misi lingkungan. Keduanya, ingin menyadarkan masyarakat betapa berpolusi dan berbahayanya Sungai Citarum saat ini (sumber: nasional.kompas.com, 19/9/2017).
Pertanyaannya, sudah berapa banyak pemuda seperti ini di Indonesia? Seharusnya lebih dari dua orang. Yakin dan percaya lebih dari dua orang itu ada hanya saja mereka saat ini masih sibuk dengan buku penuntun dan praktikum laboratorium. Ada juga yang sibuk wawancara pihak perusahaan.
Disini perlu suntikan motivasi dan optimalisasi dari setiap rektor-rektor yang ada disemua perguruan tinggi agar lebih memprioritaskan aksi lapangan melalui soft skill mahasiswanya. Tidak harus berharap semua mahasiswanya cukup ada 2 sampai 3 kelompok mahasiswa yang peduli lingkungan Citarum.
Hanya saja keterbatasan fasilitas dan dana adalah faktor utama. Kementerian perlu mengkaji ulang ide-ide inovatif mahasiswa agar dimasukkan dalam program penerapan ide yang produktif. Agar terevaluasi luaran ide bisa dilakukan sampai dimana.
Optimalisasi Pemerintah Terhadap Industrialisasi
Kronisnya adalah industri kenyangkan lambung sendiri dan membuang sisa kotorannya. Kotoran itu kemana mereka tidak mau mengetahuinya. Ketegasan pemerintah daerah dan pusat perlu dikombinasikan. Jika menginginkan implementasi ide masyarakat dan mahasiswa maksimal.
3.200 industri yang ada di hulu dan hilir sebanyak 2.000 merupakan perusahaan tekstil. Sebanyak 1.900 tak memilki instalasi pengolahan limbah (sumber: republika.co.id, 5/3/2018). Solusi yang dicapai adalah pembangunan instalasi pengolahan limbah bersama.
Solusi sudah dikumandangkan, masih saja ada perusahaan bergerilya membuang limbahnya ditengah hangat-hangatnya program Citarum harum. Sebagaimana pemberitaan pikiran-rakyat.com (8/5/2018) “sebuah saluran pembuang limbah dari pabrik kertas terbesar di Karawang terlihat mengalir air berawarna putih dan bermuara di Citarum. Terduga bahwa air berwarna putih itu merupakan sisa limbah kertas yang tidak diolah sempurna oleh pihak pabrik.”
Tiada arti jika menemukan solusi tapi akarnya masih memberi polusi. Kegiatan industri perlu mendapat pengawasan dan aturan yang ketat. Sertakan predikat bagi penggiat industri mulai dari perusak, pemerhati dan pemulih. Jelasnya predikat perusak akan mendapat sangsi tegas hingga penutupan pabrik industri.
Mengimplementasikan Prototipe Sains dan Teknologi
Ide-ide kreatif jangan terlalu lama berserakan didalam komunitas. Ramuan ide sedemikian rupawan perlu didewasakan lewat implementasi lapangan. Tentunya industri disekitar Citarum yang sudah tertata rapih akan memudahkan program ini. Sentuhan sains dan teknologi dari berbagai bidang dapat diterapkan.
‘Bidang sains’ kualitas biodiversitas Indonesia tidak lagi dianggap sebagai anak tiri. Biodiversitas ini bisa dijadikan remot kontrol membersihkan bau dan kotoran Citarum. Misalnya saja konsorsium bakteri pemakan limbah plastik dan bakteri pemakan logam berat merkuri. Sekiranya koleksi bakteri-bakteri ini masih tersimpan rapih dilaboratorium universitas dan lembaga penelitian Indonesia.
Mengapa masih ada kekakuan? pemerintah bukan dewa yang tahu segalanya, mereka perlu kita masyarakat dibelakangnya. Dari pada merongrong dijalanan menagih janji pemerintah lebih baik muda-mudi menyulap ide jadi prototipe berfaedah.
‘Bidang teknologi’ alat untuk mengubah sampah menjadi bahan bakar dan pupuk organik. Sekiranya masyarakat akan mengerti jika itu juga menjadi kebutuhan hidup keseharian. Permasalahannya hubungan romantis pemerintah daerah dan pusat perlu dijalin erat.
Setiap program memang membutuhkan dana. Yang terpenting adalah sistem dilapangan yang terstrukur dan terukur. Kelihatannya pilar ini merupakan kebutuhan mendesak bagi Citarum, lewat jamahan sains dan teknologi akan meringankan beban.
Pilar-pilar ini dianggap paling mumpuni menangkal virus-virus yang berkeliaran di Citarum. Pilar yang merupakan DNA baru bagi masa depan sepuluh sampai seratus tahun mendatang.
Tidak hanya tercermin sebagai tantangan, lebih dari itu Citarum harum adalah sebuah kemenangan menggilas kejahanaman para bandit penghancur lingkungan .
Kemerdekaan Citarum harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Jika ada penawaran, Citarum akan mati. Mimpi Citarum diminum lagi tidak akan bisa ditepati. Harus bagaimana lagi jika kalau bukan hari ini bergandengan membawa lari Citarum dari negeri api.
Negeri api yang sebentar saja bisa menimbun Citarum tak berair lagi. Hanya kenangan mandi itulah yang terpatri. Jadi kapan lagi bertemu Citarum seindah pelangi?
Menjadikan Citarum anggun bukanlah kewajiban para pandawa, jika menunggu mereka ya bersiaplah untuk menjadikan Citarum bagian dari nostalgia. Yang Citarum butuh uluran tangan kita para anak bangsa yang mampu menyulap angan-angan menjadi masa depan.

Referensi
Bowen JR. 1986. On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia. Journal Of Asian Studies. Vol. (XLV) (3): 545-561.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum: Pembuatan Kombucha

PEMBUATAN WINE (ANGGUR)

KERAGAMAN JENIS BENTHOS DI PERAIRAN WISATA BAHARI DESA TANJUNG TIRAM KECAMATAN MORAMO UTARA KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA